Sabtu, 09 November 2013

ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME GURU



A.    Pengertian Etos Kerja
Kata etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang mempunyai arti sebagai sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan tertentu. Dari kata etos terambil pula kata “etika” dan “etis” yang hampir mendekati kepada makna ahlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sempurna.[1]
Berdasarkan kamus Webster (2007), “etos” didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok, atau institusi. Jadi, etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002). Banyak tokoh lain yang menyatakan defenisi dari etos kerja Salah satunya ialah Harsono dan Santoso (2006) yang menyatakan etos kerja sebagai semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukriyanto (2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Dan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, etos berarti watak dasar suatu masyarakat. Etos lebih lanjut diartikan sebagai kesanggupan memecahkan persoalan atau permasalahan yang dihadapi yang didalamnya terdapat cara pandang terhadap berbagai persoalan yang dihadapinya, misalnya cara pandang terhadap urusan dunia, pendidikan, pekerjaan dan yang lain-lain yang digeluti.[2]
Sedangkan secara istilah para ahli memberikan pengertian beragam. Menurut Frans  Magnis Suseno, etos adalah semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang sejauh didalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu. Clifford Gertez mengartikan etos sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Dengan demikian etos menyangkut semangat hidup, termasuk semangat bekerja, menuntut ilmu pengetahuan dan meningkatkan keterampilan agar dapat membangun kehidupan yang lebih baik di masa depan.[3]
Istilah etos lebih lanjut diformulasikan oleh David C.Mc. Clelland dengan istilah virus mental  yang berupa dorongan untuk hidup sukses yang kemudian disingkat dalam istilah Need for Achievement yang berarti dorongan kebutuhan untuk meraih sukses atau prestasi yang lebih baik daripada sebelumnya. Clelland lebih lanjut menegaskan bahwa etos itu berhubungan erat dengan usaha atau tindakan untuk melakukan sesuatu secara lebih baik dari waktu ke waktu yang sudah dilakukan secara lebih efisien, lebih cepat, hemat, hemat tenaga dengan hasil yang memuaskan.
Adapun kerja menurut W.J.S Purwadarminta yaitu perbuatan melakukan sesuatu atau sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah semua aktifitas yang dilakukan karena adanya dorongan untuk mewujudkan sesuatu dan dilakukan karena kesengajaan sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas (Toto Tasmara, 2002, hlm 24-25)
Bekerja mempunyai tujuan mencapai hasil baik berupa benda, karya atau pelayanan kepada masyarakat. Pada manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya membentuk tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai bukan hanya berkaitan dengan fisik saja, tetapi juga berhubungan dengan mental (jiwa) seperti pengakuan diri, kepuasan, prestasi, dan lain-lain.
Dari berbagai kutipan diatas kita dapat melihat bahwa kata etos dan kerja atau pekerjaan memiliki hubungan yang sangat erat. Kedua kata tersebut secara substansial mengandung arti pekerjaan. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa etos kerja adalah semangat kerja yang terlihat dalam cara seseorang dalam menyikapi pekerjaan, motovasi yang melatar belakangi seseorang melakukan suatu pekerjaan. Dalam arti lain etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa/umat terhadap kerja.[4]
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa etos kerja guru adalah karakteristik yang khas yang ditunjukan seorang guru menyangkut semangat, dan kinerjanya dalam bekerja (mengajar), serta sikap dan pandangannya terhadap terhadap kerja. Etos kerja guru dalam pengertian lain yaitu sikap mental dan cara diri seorang guru dalam memandang, mempersepsi, menghayati sebuah nilai dari kerja.

B.     Ciri-ciri Etos Kerja
Untuk melihat apakah seseorang mempunyai etos kerja yang tinggi atau tidak dapat dilihat dari cara kerjanya. Keberhasilan peserta didik didukung oleh keteladan guru dalam berikap dan kebiasaannya dalam mengajar. Menurut Muhaimin, etos kerja seseorang yang tinggi dapat diketahui dari cara kerjanya yang memiliki tiga ciri dasar. Tiga ciri dasar tersebut yaitu: menjunjung mutu pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.[5]
Sedangkan menurut Bachtiar Hasan dalam Alinda, etos kerja memiliki ciri-ciri, antara lain:
a.    Memiliki standar kemampuan dalam bidang profesional, yang diakui oleh kelompok atau organisasi profesi itu sendiri.
b.    Berdisiplin tinggi (taat kepada aturan dan ukuran kerja yang berlaku dalam profesi yang bersangkutan).
c.    Selalu berusaha meningkatkan kualitas dirinya, melalui pengalaman kerja dan melalui media pembelajaran lainnya.[6]

C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Setiap guru harus memiliki etos kerja yang tinggi guna melahirkan berbagai prestasi yang bermanfaat bagi dirinya, siswa, dan masyarakat.
Di dalam melaksanakan pekerjaannya akan terlihat cara dan motivasi yang dimiliki seorang guru, apakah ia bekerja sungguh-sungguh atau tidak, bertanggung jawab atau tidak. Cara seorang menghayati dan melaksanakan pekerjaannya ditentukan oleh pandangan, harapan dan kebiasaan dalam kelompok kerjanya. Oleh karena itu etos kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh etos kerja kelompoknya. 
Adapun faktor yang dapat menunjang dan meningkatkan etos kerja guru, yaitu:
a.    Adanya tingkat kehidupan yang layak bagi guru.
b.    Adanya perlindungan dan ketentraman dalam bekerja.
c.    Adanya kondisi kerja yang menyenangkan.
d.   Pemberian kesempatan berpartisipasi dan keikutsertaan dalam menentukan kebijakan.
e.    Pengakuan dan penghargaan terhadap jasa yang dilakukan.
f.     Perlakuan yang adil dari atasan
g.    Sarana yang menunjang kebutuhan mental dan fisik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja guru dalam proses pembelajaran:
a.    Faktor personal meliputi skill, kemampuan, dan kepercayaan diri.
b.    Faktor kepemimpinan meliputi kualitas dalam memberikan semangat, dorongan, arahan, dan dukungan.
c.    Faktor sistem meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan rekan dalam satu tim.
Sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan etos kerja guru menurut William B. Cester dalam Whjo Sumidjo diantaranya; kesenjangan, pemberian penghargaan yang tidak efektif, ketiadaan otoritas, supervisi yang tidak seimbang, karir tidak fleksibel, keusangan personil, rekruitmen dan usaha seleksi yang tidak produktif, ketidakadilan pemberian tugas dan kesempatan promosi.[7]

D.    Hubungan Etos Kerja dengan Profesionalisme Guru
Etos kerja guru yaitu segenap motivasi dan kecerdasan yang menjadi sehimpun perilaku kerja yang positif, cara kerja yang profesional, serta budi pekerti luhur di dalam maupun di luar ruang kerja guru. [8] Etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian pekerja yang tercermin melalui unjuk kerja secara utuh dalam berbagai dimensi kehidupannya. Dengan demikian, etos kerja lebih merupakan kondisi internal yang mendorong dan mengendalikan perilaku pekerja ke arah terwujud kualitas kerja yang ideal.
Profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus menerus dan memiliki sistem budaya yang mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi yang dilayani.[9] Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan dan isme sebagai pandangan hidup, maka profesionalisme dapat diartikan sebagai pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasilan pekerjaannya.
Tugas utama guru adalah sebagai pendidik profesional dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 dalam Bab I, Pasal 1, Ayat (1) dikatakan bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Edharmayati (2010), etos kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap profesionalitas. Hubungan antara etos kerja dengan profesionalisme guru adalah berbanding lurus, sehingga apabila seorang guru memiliki etos kerja yang tinggi maka guru tersebut memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi pula. Dari hasil penelitian tersebut, penulis berasumsi bahwa etos kerja memiliki hubungan yang kuat terhadap kinerja, karena profesionalitas merupakan bagian dari kemampuan dan kemampuan merupakan komponen dari kinerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuyun, dkk (2013) mengenai pengaruh gaya kepemimpinan kepala sekolah dan etos kerja guru terhadap kinerja guru menghasilkan bahwa etos kerja guru berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja guru, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan etos kerja guru juga akan menyebabkan tingginya kinerja guru, begitu pula sebaliknya apabila etos kerja guru menurun maka kinerja guru juga akan menurun. Etos kerja guru ini sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri karena etos kerja guru merupakan sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi yang mampu mempengaruhi kinerja dari diri pribadi itu sendiri. Pada penelitian ini, dikarenakan nilai korelasi antara kinerja guru dengan etos kerja guru nilainya lebih besar daripada nilai korelasi kinerja guru dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah, maka variabel etos kerja lebih berpengaruh terhadap kinerja guru daripada variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini terjadi karena etos kerja guru lebih berhubungan dengan pribadi guru itu sendiri sehingga lebih mempengaruhi kinerja guru tersebut daripada gaya kepemimpinan kepala sekolah yang berlainan pihak dengan guru tersebut.
Jadi dari beberapa penelitian di atas, terdapat hubungan berbanding lurus antara etos kerja dengan profesionalisme guru dan kinerja guru. Sehingga apabila seorang guru memiliki etos kerja yang tinggi maka profesionalisme dan kinerja guru akan tinggi, begitupula sebaliknya.

E.     Kiat Meningkatkan Etos Kerja dan Profesionalisme Guru
Etos kerja guru dapat ditingkatkan terutama dengan adanya motor penggerak sekolah yaitu kepala sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektivitas kinerja guru. Adapun cara meningkatkan etos kerja guru yang dilakukan oleh kepala sekolah:
a.    Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
b.    Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu.
c.    Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru di sekolah.
d.   Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut Alex Nitisemito, ada sebelas cara yang dilakukan untuk meningkatkan etos kerja, yaitu:
1.    Memberikan gaji/upah yang cukup
Jumlah gaji yang diberikan mempunyai pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja. Semakin besar gaji yang diberikan guru-guru akan mendapat ketenangan dan semangat dalam melaksanakan tugasnya.
2.    Memperhatikan kebutuhan rohani
Selain kebutuhan gaji, kebutuhan rohani meliputi: kebutuhan untuk dihargai, berpatisipasi, ketentraman jiwa, beribadah dan lain-lain.
3.    Menciptakan suasana santai dan nyaman
Suasana kerja yang rutin sering menimbulkan ketegangan, kebosanan, dan kelelahan. Oleh karena itu hendaknya diciptakan suasana santai pada waktu tertentu, misalnya saat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan rekan sejawat.
4.    Memperhatikan harga diri
Menjaga harga diri guru salah satunya dengan mengajaknya berunding dalam menetapkan kebijakan. Selain itu, setiap guru diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang sesuai agar merasa dihargai.
5.    Menempatkan pada posisi yang tepat (sesuai bidangnya)
Posisi yang tepat atau sesuai dengan bidangnya akan membuat guru menjadi lebih menguasai materi dan situasi dalam mengajar.
6.    Memberikan kesempatan untuk maju
Pimpinan memberikan kesempatan dan memberikan penghargaan kepada guru yang berprestasi. Dukungan dari lingkungan sekitar juga dibutuhkan untuk kemajuan dan prestasi kelak.
7.    Memberikan rasa aman untuk menghadapi masa depan
Semangat dan gairah guru akan terpupuk jika mereka mempunyai perasaan aman terhadap masa depan profesi mereka. Tunjangan kesehatan, maslahat tambahan, dan program pension dapat memberikan rasa aman kepada guru.
8.    Mengupayakan guru mempunyai loyalitas
Loyalitas guru terhadap sekolah dapat menimbulkan tanggung jawab dan menciptakan gairah dan semangat kerja.
9.    Ikut berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan
Dengan melibatkan guru dalam penetapan kebijakan di sekolah akan menimbulkan rasa tanggung jawab guru sehingga semangat dan kegairahan kerja meningkat.
10.  Memberikan intensif yang terarah
Pemberian intensif yang terarah dapat meningkatkan semangat seseorang dalam bekerja dan dengan demikian guru akan meningkatkan mutu kualitasnya dengan baik.
11.  Memberikan fasilitas yang memadai
Fasilitas yang memadai juga dapat memacu semangat dalam bekerja, walau baaimanapun fasilitas yang mendukung memberikan pengaruh terhadap sikap  guru dalam mengajar.[10]


[1] Toto Tasmara, Membudidayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. 1, h. 15

[2] Abdulah Nata, Paradigma Pendidikan Islam: kapita selekta pendidikan islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 20
[3] Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Persfektif Tasawuf, (Bandung: Pustaka Nusantara, 2003, cet. 1, h. 1)
[4] Panji Anoraga, Psikologi Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet 3, h. 29
[5] Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengeektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2004) h. 114
[6] Alinda Oktafiani, Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Etos Kerja Guru di MAN Cibinong, Jakarta: Jurusan Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010. Skripsi
[7] Whjo Sumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 274
[8]Alinda Oktafiani, "Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dengan Etos Kerja Guru Di MAN Cibinong", Skripsi Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 21
[10] Alex Nitisemito, Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo, 2001) h. 102-108

Jumat, 08 November 2013

TERAPAN BIOTEKNOLOGI TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN



TERAPAN BIOTEKNOLOGI TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN

A.  Pencemaran Lingkungan
Pencemaran adalah perubahan yang tidak diinginkan pada lingkungan, meliputi udara, air, daratan, baik secara fisik, kimia, ataupun biologi. Makhluk hidup, zat, atau energi yang menjadi penyebab dari pencemaran disebut polutan. Polutan yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah sampah, kotoran hewan, gas pembuangan dari alat transportasi, dll. Pencemaran dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan lokasinya yaitu:
a.       Pencemaran Udara (air pollution) yaitu suatu perubahan yang tidak diinginkan secara fisik, kimia, ataupun biologi pada udara yang dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup baik dalam skala mikro ataupun makro. Polutan pencemaran udara bisa berasal dari kegiatan manusia, limbah industri atau rumah tangga, dll.
b.      Pencemaran Tanah (Soil pollution) yaitu suatu perubahan yang tidak diinginkan pada tanah akibat penggunaan pestisida, logam berat, zat kimia berbahaya, dll.
c.       Pencemaran Air (Water pollution) suatu perubahan secara fisik, kimia, atau biologi yang tidak diinginkan pada air akibat polutan yang dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup.

B.  Terapan Bioteknologi Terhadap Pencemaran Udara
1.    Kasus Pencemaran Udara
Warga Keluhkan Bau Kotoran Babi
Friday, 10 February 2012 11:20
SLEMAN - Warga Dusun Gancahan, Sidomulyo, Godean, mengeluhkan polusi udara akibat limbah peternakan babi di tengah permukiman. Bau menyengat karena kotoran babi dibuang melalui parit selebar tak lebih setengah meter yang mengarah ke kolam ikan warga. Parahnya, aliran air di parit tak lancar. Bahkan di beberapa titik, limbah mengering sebelum sampai tempat pembuangan. Ada juga kandang yang tak terhubung dengan parit sehingga kotoran harus ditimbun di tanah. ”Kalau warga yang rumahnya jauh dari kandang, tak masalah. Tapi yang di sepanjang parit, jelas bau,” ungkap seorang ibu yang enggan disebutkan namanya kemarin (9/2). Ibu dua anak itu khawatir, selain bau, limbah pabrik bakal mengakibatkan penyakit.
Sri Waldiono, 40, salah seorang pemilik kandang ternak membantah jika bau limbah dikeluhkan. ”Selama ini tak ada yang protes. Usaha ini sudah turun-temurun, dan tak hanya satu di Gancahan. Hampir semua warga pernah pelihara babi,” ungkapnya. Menurutnya, peternak babi selalu menjaga kebersihan dengan mengguyur kandang dengan air setiap hari. Pembuatan saluran parit pun untuk mengantisipasi penumpukan limbah. Untuk mengantisipasi penyakit, ia memberi vaksin hewan piaraan secara rutin.”Kalau dibilang bau, ya memang bau. Tapi kalau nggak boleh ternak babi, kami harus kerja apa,” ujar Sri yang memelihara 60 ekor babi.

Usaha ternak babi ternyata cukup menguntungkan. Sri mengaku, tiap tahun bisa panen dua kali. Tiap kali panen sekitar 15 ekor. Harga jual seekor bisa menembus harga Rp 2 juta. Ia menyatakan siap jika kandang-kandangnya dipindahkan ke lokasi yang jauh dari permukiman. Namun, menurutnya, hal itu sulit dilakukan karena di Gancahan tak ada lagi lahan kosong untuk menampung ternak babi. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Sleman Epiphana Kristiani menilai, kandang ternak babi di Gancahan tak ideal karena berada di tengah permukiman penduduk. ”Seharusnya terpisah. Supaya tak berdampak buruk bagi lingkungan sekitar,” jelasnya.Selain itu, setiap kandang harus memiliki sistem pengolahan limbah khusus, sebelum dibuang melalui saluran parit.
Salah satu cara mengantisipasi polusi udara dan pencemaran lingkungan adalah membentuk kandang komunal yang dilengkapi sistem pengolahan limbah. Mengalirkan limbah ke parit tidak bias dibenarkan.Sedangkan menurut Kepala Bidang Penanggulan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Sleman Cahya Purnama, kandang babi di tengah permukiman tidak berdampak langsung sebagai penyebab penyakit. Namun, bisa mengundang vektor pembawa penyakit. Misalnya lalat yang hinggap di makanan atau kotoran babi. ”Jika musim hujan, potensi ancaman penyakit lebih tinggi,” jelas Cahya. (yog/tya)[1]
Cemari lingkungan, RPH Pancoranmas Depok diminta tutup
Minggu,  3 Februari 2013  −  17:59 WIB
Gambar 1 Peternakan Hewan
Ilustrasi (Sindonews)
Sindonews.com- Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pancoran Mas, Depok didesak untuk segera ditutup. Desakan penutupan itu muncul dari Ikatan Keluarga Mahasiswa Depok (KMD). Tuntutan penutupan itu cukup beralasan, karena sudah lama warga sekitar merasa terganggu dengan kondisi lingkungan.
"Kita menuntut agar RPH Pancoran ditutup segera. Karena dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Apalagi, warga sekitar sudah terganggu dan tidak bisa berbuat apa-apa," terang Ketua IKMD Dede, Minggu (03/02/2013).
Menurutnya, Pemerintah Kota Depok sudah lama berencana akan menutup RPH Pancoran Mas. Namun, lanjutnya, sampai saat ini belum ada realisasinya.
Dirinya menegaskan, RPH Pancoran Mas sudah cukup meresahkan warga sekitar. Selain itu, bau tak sedap yang ditimbulkannya juga sangat mengganggu.
"Kita minta agar Pemkot Depok memenuhi janjinya, ini sudah mengganggu warga sekitar dan sudah tidak layak sebagai RPH. Apalagi, kita dengar dari warga sekitar tidak tahu harus bagaimana dalam menyikapinya. Soalnya, banyak yang melindungi saat akan melakukan protes," ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Depok RIntis Yanto membenarkan tuntutan mahasiswa. Pasalnya, ia sudah dua tahun lalu telah meminta dan menyurati Pemkot Depok untuk melakukan penutupan. Dia menilai, tempat itu sudah tidak layak dijadikan tempat RPH.
Bahkan, imbuhnya, dari sisi lingkungan sudah mencemari. Diantaranya tidak ada pengolahan yang secara tepat dalam pembuangan limbahnya. Selain itu, bau yang menyengat dan kotor menjadi pemandangan sehari-hari. "Kita sudah dua tahun lalu menyurati ke Pemkot Depok untuk menutup RPH itu," paparnya (kri)[2]

Usaha peternakan memberikan manfaat yang besar dilihat dari perannya sebagai penyedia protein hewani. Hal ini yang menjadi alasan digalakkannya program peternakan. Dari peternakan, kita bisa mendapatkan daging, telur, susu, dan kulit. Peningkatan permintaan hasil ternak mendorong meningkatnya populasi ternak dan produktivitas ternak. Sistem pemeliharaan pun beralih dari ekstensif ke pemeliharaan sistem intensif.
Selain memberikan produk yang menguntungkan, usaha peternakan juga menghasilkan produk ikutan (by product) dan limbah (waste). Hasil sampingan ternak berupa limbah dari usaha yang semakin intensif dan skala usaha besar akan menimbulkan masalah yang komplek. Selain baunya yang tidak sedap, keberadaannya juga mencemari lingkungan, mengganggu pemandangan, dan bisa menjadi vektor penyakit.
Penumpukan limbah ternak akan semakin buruk untuk kesehatan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan perekonomian peternakan tersebut karena bisa saja masyarakat setempat menutut peternakan tersebut untuk dihilangkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya pengolahan limbah. [3]
Banyak cara menuju Roma, begitupula dalam mengelola limbah peternakan. Limbah peternakan dapat kita olah menjadi biogas yang bermanfaat untuk menghasilkan energi listrik. Biogas adalah suatu gas alternatif yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti kotoran ternak, manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur) difermentasi atau mengalami proses metanisasi.[4]

2.    Sejarah Perkembangan Biogas
Sejarah penemuan proses anaerobik digestion untuk menghasilkan biogas tersebar di Benua Eropa. Penemuan ilmuan Alessandro Volta terhadap gas yang dikeluarkan dirawa-rawa terjadi pada tahun 1770, beberapa dekade kemudian Avogadro mengidentifikasikan tentang gas methana. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan produk dari proses anaerobik digestion. Tahun 1884, Pateour melakukan penelitian tantang  biogas menggunakan kotoran hewan. Era penelitian Pasteour menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini.
Pada akhir abad ke-19, ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan. Jerman dan Perancis melakukan riset pada masa antara dua perang dunia dan beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah pertanian. Selama perang dunia II banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat digester kecil untuk menghasilkan biogas yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah memperolehnya pada tahun 1950-an pemakaian biogas di Eropa ditinggalkan. Namun, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia. Kegiatan produksi biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19. Alat pencerna anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900.[5]
Kotoran ternak berupa feses dan urine telah dimanfaatkan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pemanfaatan utamanya adalah sebagai pupuk untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah. Seiring dengan peningkatan penggunaan pupuk kimia, penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk semakin berkurang. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan lagi pemanfaatan pupuk organik dari kotoran ternak. Hal ini dipengaruhi oleh minat masyarakat terhadap produk pertani anorganik.
Bahan pangan organik yang dihasilkan dari sistem pertanian yang menggunakan bahan dari alam tanpa menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia dan pestisida. Bahan pangan organik diyakini lebih sehat dan tidak mengandung residu zat yang berbahaya. Pemanfaatan kotoran ternak dalam bentuk lain adalah mengolahnya menjadi sumber energi dalam bentuk gas yang sering disebut biogas.
Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal thun 1970-an. Tujuannya untuk memanfaatkan buangan atau sisa limbah yang kurang bermanfaat agar mempunyai nilai guna yang lebih tinggi. Tujuan lain adalah mencari sumber energi lain selain minyak tanah dan kayu bakar. [6]

3.    Sumber Bahan Baku Biogas
Biogas adalah gas produk akhir pecernaan atau degradasi anaerobik bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan bebas oksigen atau udara. Komponen terbesar biogas adalah Methana (CH4, 54-80%-vol) dan karbondioksida (CO2, 20-45%-vol) serta sejumlah kecil H2, N2 dan H2S.
Sumber bahan baku biogas yang prospektif di Indonesia diperkirakan ada 3 jenis bahan baku yang prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan baku biogas di Indonesia, antara lain:
a.    Kotoran ternak dan Manusia
Ketersediaan kotoran ternak di Indonesia cukup melimpah. Berdasarkan hasil estimasi, seekor sapi dalam satu hari dapat menghasilkan kotoran sebanyak 10-30 Kg, seekor ayam menghasilkan kotoran sebanyak 25 g/hari, dan seekor babi dewasa dengan berat 60-120 kg dapat memproduksi kotoran 4,5-5,3 kg/hari. Berdasarkan hasil riset yang pernah ada diketahui bahwa setiap 10 kg kotoran ternak sapi berpotensi menghasilkan 360 liter biogas dan 20 kg kotoran babi dewasa bisa menghasilkan 1,379 liter biogas. Dengan jumlah populasi ternak yang demikian tinggi, dapat dibayangkan berapa jumlah biogas yang dapat dihasilkan.
Pengolohan kotoran hewan menjadi biogas memberikan dampak positif berganda. Selain dihasilkannya biogas sebagai energi alternatif, dalam proses ini dihasilkan juga bahan sisa fermentasi yang dapat digunakan langsung untuk memupuk tanaman. Pupuk sisa proses fermentasi memiliki kualitas yang baik dibandingkan dengna pupuk hasil pengomposan biasa, karena bakteri patogen dan biji tanaman gulma dalam kotoran ternak mati selaa proses fermentasi.

Jenis Gas
Biogas
Kotoran Sapi
Campuran kotoran ternak dan sisa pertanian
Metan (CH4)
65,7
54-70
Karbon dioksida (CO2)
27,0
45-27
Nitrogen (N2)
2,3
0,5-3,0
Karbon monoksida (CO)
0
0,1
Oksigen  (O2)
0,1
6,0
Propena (C3H8)
0,7
-
Hidrogen sulfida (H2S)
-
Sedikit
Nilai kalor (kkal/m3)
6513
4800-6700
Tabel 1 Komposisi biogas (%) kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian

b.    Sampah organik
Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, rumah tangga, dan industri. Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan biogas dari sampah organik menghasilkan biogas dengan komposisi metana 51,53-58,18% dan gas CO2 41,82-48,67%.
c.    Limbah Cair
Limbah cair adalah sisa pembuangan yang dihasilkan dari sutau proses yang sudah itdak digunakan kembali, biasanya dapat kita peroleh dari kegiatan industri, rumah tangga, peternakan, dan pertanian. Tidak semua limbah cair yang dapat digunakan, hanya limbah cair organik yang bisa digunakan untuk pembuatan biogas.[7]
Dari dua kasus pencemran udara diatas sumber bahan baku biogas yang digunakan merupakan kotoran ternak itu sendiri.

4.     Proses Pengelolahan Biogas
Prinsip terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar (flammable). Secara kimia, reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Meskipun dalam praktiknya, pembuatan biogas relatif mudah dilakukan. Biogas bisa dibuat jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.
a.    Ada Bahan Pengisi
Bahan pengisi digester berupa bahan organik, terutama limbah pertanian dan peternakan. Selama ini limbah yang paling umum digunakan sebagai bahan pengisi adalah kotoran sapi. Hal ini disebabkan potensi limbah dari peternakan sapi (dihitung per ekor) lebih banyak sehingga dengan memelihara 5-10 ekor sapi menghasilkan limbah yang cukup banyak.
Aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan organik dipengaruhi juga oleh kompenen kimia bahan organik tersebut. Parameter yang sering digunakan untuk menentukan layak tidaknya bahan organik digunakan sebagai bahan pengisi digester adalah imbangan karbon (C) dan nitrogen (N) atau rasio C/N. Bakteri metanogenik akan bekerja optimal pada nilai rasio C/N sebesar 25-30.
b.    Ada Instalasi Biogas
Komponen utama instalasi biogas adalah digester yang dilengkapi lubang pemasukan dan pengeluaran, penampung gas, dan penampung sludge (sisa buangan). Pembangunan instalasi ini harus memenuhi beberapa persyaratan.

                          
Gambar 2 Instalasi model terapung dan kubah

c.    Terpenuhinya Faktor Pendukung
Banyak faktor yang mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan. Kuantitas biogas dipengaruhi oleh faktor dalam  (dari digester) dan faktor luar. Faktor dalam meliputi imbangan C/N, pH, dan struktur bahan isian (kehomogenan). Faktor luar  yang paling memengaruhi kuantitas biogas adalah fluktuasi suhu. Bakteri perombak akan bekerja pada suhu optimum (25-280C). Karena itu, tata letak bangunan instalasi biogas harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai terkena sinar matahari terlalu banyak. Untuk menjaga suhu tetap stabil, banyak instalasi biogas yang dibangun dengan memberikan naungan atau menguburnya di dalam tanah.[8]
Proses pembentukan biogas dalam digester model kontinu akan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a.    Menampung Kotoran Sapi di Bak Penampungan Sementara
Kotoran sapi dari kandang yang bercampur dengan air cucian kandang ditampung di dalam bak penampungan sementara. Bak penampungan sementara ini berfungsi untuk mehomogenkan bahan makanan.
Dalam bak penampungan ini kotorn sapi yang menggumpal dihancurkan dan diaduk dengan perbandingan air dan kotoran sapi 1:2. Pengadukan harus dilakukan secara merata sehingga bentuknya menjadi lumpur kotran sapi. Bentuk lumpur seperti ini akan mempermudah proses pemasukannya ke dalam digester. Selain itu, kotoran sapi yang berbentuk lumpur juga sangat menguntungkan karena dapat menghindari terbentuknya kerak di dalam digester yang bisa menghambat pembentukan biogas.
b.    Mengalirkan Kotoran Sapi ke Digester
Lumpur kotoran sapi dialirkan ke digester melalui lubang pemasukan. Pada pengisian pertama, kran pengeluaran gas yang ada di puncak kubah sebaiknya tidak disambungkan dulu ke pipa. Kran tersebut dibuka agar udara dalam digester terdesak keluar sehingga proses pemasukan lumpur kotoran sapi lebih mudah.
c.    Menambahkan Starter
Pada pemasukan pertama diperlukan lumpur kotoran sapi dalam jumlah banyak sampai lubang digester terisi penuh. Untuk membangkitkan proses fermentasi bakteri anaerob pada pengisian pertama ini perlu menambahkan starter (berupa starter komersial yang banyak dijual di pasar) sebanyak 1 liter dan isi rumen segar dari rumah potong hewan (RPH) sebanyak 5 karung untuk kapasitas digester 3,5-5,0 m3.
Setelah digester penuh, kran pengatur gas yang ada di puncak kubah ditutup dan biarkan digester memulai proses fermentasi. Lubang permukaan sementara ditutup agar tidak ada penambahan lumpur kotoran sapi.
d.   Membuang Gas yang Pertama Dihasilkan
Dari awal hingga hari ke-8, kran yang di atas kubah dibuka dan gasnya dibuang. Pembuangan gas ini disebabkan gas awal yang terbentuk didominasi CO2. Pada hari ke-10 hingga hari ke-14 pembentukan gas CH4 semakin meningkat dan CO2 menurun, pada saat komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan menyala. Selanjutnya biogas dapat dimanfaatkan untuk menyalakan kompor gas di dapur.
e.    Memanfaatkan Biogas yang Sudah Jadi
Pada hari ke-14, gas sudah mulai terbentuk dan bisa digunakan untuk menghidupkan nyala api pada kompor , mulai hari ke-14 kita sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas ini tidak berbau seperti bau kotoran sapi.
Selanjutnya, digester terus diisi lumpur kotoran sapi secara kontinu sehingga dihasilkan biogas yang optimal. Selain menghasilkan biogas, proses pembuatan biogas juga menghasilkan sisa buangan lumpur yang bisa digunakan sebagai pupuk organik. Sisa buangan lumpur ini dapat dipisahkan menjadi bagian padatan dan cairan yang selanjutnya dapat dijadikan pupuk organik padat dan pupuk organik cair.[9]
Gambar 3 Skema Pembuatan Biogas
http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bioenergy/potensi-biogas-untuk-masyarakat-indonesia

Bagan 1 Tahap Pembentukan Gas Metana

5.        Manfaat Biogas
Penerapan biogas memberikan manfaat yang cukup banyak, terutama terhadap perkembangan peternakan di Indonesia, manfaat tersebut antara lain:
a.    Investasi yang besar untuk pembangunan instalasi (Rp 8.100.000) dengan umur pemakaian 30-40 tahun sebenarnya tidak mahal jika diuraikan menjadi biaya pengadaan bahan bakar per hari.
b.    Nilai manfaat dari kotoran ternak sebagai pupuk kandang tidak berkurang (bahkan makin meningkat) karena sisa buangan (sludge) dari digester masih bermanfaat sebagai pupuk organik. Bahkan, unsur hara (N, P, dan K) dalam pupuk organik sudah mengalami perombakan (fermentasi) dalam digester sehingga jika digunakan akan mudah terserap tanaman.
c.    Pembuatan biogas mengurangi pencemaran lingkungan akibat bau dari kotoran diternak yang ditumpuk begitu saja. Dengan proses fermentasi dalam digester, bau tak sedap dapat dihilangkan dan akan terbentuk gas metan yang bermanfaat.
d.   Gas yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar untuk lima orang keluarga peternak secara terus menerus.
e.    Meringankan beban belanja karena sudah tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar minyak (gas).
f.     Pemanfaatan energi biogas yang terbarukan ini akan mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar miyak bumi fosil.[10]



C.  Terapan Bioteknologi Terhadap Pencemaran Air
1.    Kasus Pencemaran Air
Kapal Pertamina Bocor Cemari Laut Cilacap
Jum'at, 04 April 2008 16:11 wib
CILACAP - Pencemaran laut akibat tumpahan minyak mentah terjadi di area 70 pantai Teluk Penyu Cilacap, Jawa Tengah. Diduga tumpahan minyak mentah tersebut berasal dari Kapal Tanker MT Palu Sipat milik Pertamina yang bocor.
Warna air laut pun menjadi kehitaman, bahkan genangan minyak ini meluas hingga mencapai radius satu kilometer. Tumpahan minyak ini juga membuat para nelayan resah. Para nelayan khawatir dengan air yang keruh akan mematikan ikan-ikan dan mempercepat proses pembusukan ikan. Selain itu, tumpahan minyak tersebut menyulitkan kapal nelayan untuk berjalan.
Salah seorang nelayan, Tarsiman (55) menilai, pihak Pertamina tidak bertanggung jawab atas pencemaran tersebut. Bahkan dia menuding Pertamina malah melarikan kapal tanker yang bocor tersebut. "Kapalnya tadi di sana mas, tapi sekarang tidak tahu dibawa kemana. Kami tidak bisa mencari ikan karena ikan-ikan pada mati," ujarnya sambil menunjukkan ikan yang mati, Jumat (4/4/2008).
Hingga Jumat siang, belum terlihat adanya upaya pembersihan terhadap tumpahan minyak tersebut. Para nelayan berharap pihak Pertamina Unit IV Cilacap segera membersihkan tumpahan minyak yang mencemari laut ini.[11]
Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia membuat manusia berpikir untuk menciptakan teknologi yang dapat mempermudah pekerjaannya. Manusia adalah makhluk yang tak pernah puas dan memiliki jiwa petualang, oleh karenanya manusia menciptakan sebuah teknologi yang memudahkannya untuk bisa menjelajahi dan menguasai seluruh alam ini, teknologi tersebut kita kenal sekarang dengan nama alat transportasi. Salah satu teknologi yang memudahkan transportasi kita dari satu pulau ke pulau lainnya yaitu kapal laut.
Kapal laut memudahkan usaha manusia dalam perdagangan, pertanian, peternakan, dll. Salah satu fungsi dari kapal laut yaitu seperti kasus di atas, kapal laut berguna untuk mengantarkan minyak bumi dari satu pulau ke pulau lainnya untuk kesejahteraan manusia, akan tetapi terkadang entah karena faktor kecelakaan atau kesengajaan seperti kegiatan pengeboran, produksi minyak dan turunannya, pengilangan, transportasi minyak, perembesan minyak bumi dari reservoirnya, serta kegiatan pemuatan dan pembongkaran muatan kapal tanker di pelabuhan, membuat minyak tercemar ke dalam lautan.
Meningkatnya frekuensi pencemaran akan mengancam kebersihan lingkungan perairan. Bila hal ini tidak segera ditanggulangi, dalam waktu singkat laju pencemaran laut akan menjadi tidak terkendali. Minyak bumi merupakan salah satu jenis polutan yang masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian dari polutan tersebut larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi di sedimen dan sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut, termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-cumi, kerang, rumput laut dan lain-lain. Polutan di dalam tubuh organisme tingkat rendah termakan oleh jenjang organisme di atasnya sehingga terikut dalam rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya terakumulasi di dalam tubuh manusia. Bila dalam jaringan tubuh organisme laut terdapat polutan dengan konsentrasi tinggi, kemudian organisme tersebut dijadikan bahan makanan, maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Minyak bumi merupakan senyawa yang bersifat rekalsitran sehingga tidak mudah terdegradasi secara alami dalam jangka waktu yang relatif pendek. Pada umumnya pencemaran minyak bumi dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknik fisika dan kimia. Cara penanggulangan tersebut masih menyisakan cemaran minyak bumi di perairan maupun sedimen di sekitarnya sehingga masih berpotensi mencemari lingkungan. Penanganan sisa bahan-bahan cemaran ini biasanya menggunakan teknik-teknik bioremediasi, proses pembersihan lingkungan yang tercemar oleh polutan kimia dengan menggunakan organisme hidup untuk mendegradasi bahan berbahaya menjadi zat yang kurang beracun.[12]

2.    Sejarah dan Perkembangan Bioremediasi
Sejak tahun 1900-an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diuji cobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme pertama yang efektif diubah secara genetik untuk digunakan dalam bioremediasi diciptakan pada tahun 1970-an oleh Ananda Chakrabarty dan rekan-rekannya di general electric. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan tersebut adalah strain Pseudomonas dari tanah yang terkontaminasi dengan berbagai jenis bahan kimia termasuk pestisida, dan minyak mentah.Setelah proses identifikasi dan persilangan 2 strain yang berbeda, akhirnya dikembangkan suatu rekombinan Pseudomonas (bakteri "pemakan minyak") yang dapat menguraikan beberapa komponen minyak mentah. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diuji cobakan. Akan tetapi, strain ini belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.[13]

3.    Sumber Bahan Baku Bioremediasi
Minyak bumi tersusun atas berbagai jenis senyawa hidrokarbon. Komposisi spesifiknya tergantung dari bentuknya, apakah masih berupa minyak bumi atau telah mengalami destilasi. Proses destilasi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen minyak bumi berdasarkan berat molekul yang berbeda menjadi bermacam-macam produk seperti bensin, solar dan minyak tanah. Tumpahan minyak bumi dari kapal tanker dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius dan mempengaruhi kehidupan satwa yang ada di lingkungan yang tercemar.
Minyak bumi memiliki campuran senyawa hidrokarbon sebanyak 50-98% berat, sisanya terdiri atas zat-zat organik yang mengandung belerang, oksigen, dan nitrogen serta senyawa-senyawa anorganik seperti vanadium, nikel, natrium, besi, aluminium, kalsium, dan magnesium. Secara umum, komposisi minyak bumi dapat dilihat pada tabel berikut:

Komposisi
Persentase
Karbon (C)
84-87
Hydrogen (H)
11-14
Sulfur (S)
0-3
Nitrogen (N)
0-1
Oksigen (O)
0-2
Tabel 2 Komposisi Elemental Minyak Bumi
Berdasarkan kandungan senyawanya, minyak bumi dapat dibagi menjadi golongan hidrokarbon dan non-hidrokarbon serta senyawa-senyawa logam. Golongan hidrokarbon-hidrokarbon yang utama adalah parafin, olefin, naften, dan aromatik.
1. Parafin
Parafin adalah kelompok senyawa hidrokarbon jenuh berantai lurus (alkana), CnH2n+2. Contohnya adalah metana (CH4), etana (C2H6), n-butana (C4H10), isobutana (2-metil propana, C4H10), isopentana (2-metilbutana, C5H12), dan isooktana (2,2,4-trimetil pentana, C8H18). Jumlah senyawa yang tergolong ke dalam senyawa isoparafin jauh lebih banyak daripada senyawa yang tergolong n-parafin. Tetapi, di dalam minyak bumi, kadar senyawa isoparafin biasanya lebih kecil daripada n-parafin.
2. Olefin
Olefin adalah kelompok senyawa hidrokarbon tidak jenuh, CnH2n. Contohnya etilena (C2H4), propena (C3H6), dan butena (C4H8).
3. Naftena
Naftena adalah senyawa hidrokarbon jenuh yang membentuk struktur cincin dengan rumus molekul CnH2n. Senyawa-senyawa kelompok naftena yang banyak ditemukan adalah senyawa yang struktur cincinnya tersusun dari lima atau enam atom karbon. Contohnya adalah siklopentana (C5H10), metilsiklopentana (C6H12) dan sikloheksana (C6H12). Umumnya, di dalam minyak bumi, naftena merupakan kelompok senyawa hidrokarbon yang memiliki kadar terbanyak kedua setelah n-parafin.
4. Aromatik
Aromatik adalah hidrokarbon-hidrokarbon tak jenuh yang berintikan atom-atom karbon yang membentuk cincin benzen (C6H6). Contohnya benzen (C6H6), metilbenzen (C7H8), dan naftalena (C10H8). Minyak bumi dari Sumatera dan Kalimantan umumnya memiliki kadar aromatik yang relatif besar.
Selain senyawa-senyawa yang tersusun dari atom-atom karbon dan hidrogen, di dalam minyak bumi ditemukan juga senyawa non hidrokarbon seperti belerang, nitrogen, oksigen, vanadium, nikel dan natrium yang terikat pada rantai atau cincin hidrokarbon. Unsur-unsur tersebut umumnya tidak dikehendaki berada di dalam produk-produk pengilangan minyak bumi, sehingga keberadaannya akan sangat mempengaruhi langkah-langkah pengolahan yang dilakukan terhadap suatu minyak bumi (Ahmad Thontowi: 2013).

4.    Proses Pelaksanaan Bioremediasi
Bioremediasi hidrokarbon sebagai suatu proses penguraian senyawa-senyawa hidrokarbon kompleks menjadi air, karbondioksida dan senyawa organik sederhana secara biologis. Dalam proses tersebut terjadi oksidasi senyawa organik kompleks menjadi senyawa anorganik. Substrat hidrokarbon dari minyak bumi digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon dan nutrien untuk pertumbuhan dan perolehan energi. Senyawa organik diubah menjadi CO2, komponen sel dan produk lain sesuai jalur metabolisme yang ditempuh.
Menurut Glick dan Pasternak bioremediasi adalah proses penggunaan agen biologi untuk menghilangkan limbah atau buangan yang bersifat toksik dari lingkungan. Proses bioremediasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1.    Bioaugmentasi
Di mana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada karena degradasi oleh mikroba secara alami berjalan relatif lambat dalam lingkungan laut, karena suhu yang rendah, keterbatasan nitrogen dan fosfor serta besarnya jumlah residu minyak yang merubah bentuk minyak dari emulsi menjadi tarballs yang akan mengendap dalam sedimen. Bioaugmentasi didefinisikan sebagai penambahan kultur mikroba untuk melakukan tugas resubstratsi spesifik di dalam lingkungan tercemar. Mikroba dalam kultur tersebut diisolasi secara khusus, pada umumnya dari lingkungan yang sama, ditapis untuk aktivitas biologi yang diinginkan, dan ditumbuhkan dalam jumlah yang besar dalam suatu reaktor. Mikroba tersebut mampu mendegradasi komponen-komponen dalam hidrokarbon menjadi CO2 dan air. Mikroba tersebut akan bertahan hidup dengan mengkonsumsi hidrokarbon sampai polutan tersebut teresubstratsi.
Agar proses bioaugmentasi berhasil dengan baik, maka dibutuhkan beberapa kriteria diantaranya: kemampuan mikroba untuk mencapai kontaminan, keberadaan oksigen untuk metabolisme mikroba, suhu antara 5 – 45 oC (28 oC merupakan suhu optimum), pH antara 6,5 – 8,5 dan penambahan nutrien. Selama mikroba dapat mencapai kontaminan, tersedia oksigen serta suhu dan pH yang sesuai, maka proses remediasi akan berlangsung dengan sempurna.
Bakteri dianggap sebagai salah satu mikroorganisme yang bertanggung jawab terhadap degradasi hidrokarbon di lingkungan dan bakteri hidrokarbonoklastik bersifat kosmopolitan, dapat ditemukan di berbagai jenis lingkungan. Lebih dari 20 genera bakteri pendegradasi hidrokarbon terdistribusi dalam beberapa subphylum (α−, β−, γ−proteobacteria; gram positif; Flexibacter-Cytophaga-Bacteroides). Sejumlah bakteri pendegradasi hidrokarbon telah diisolasi dari lingkungan laut dan telah dikarakterisasi, meskipun informasi mengenai bakteri tersebut pada lingkungan tropis masih langka, namun sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa bakteri laut dari air laut Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dan beberapa diantaranya mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon.
Berikut ini beberapa bakteri yang mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon di daerah subtropis,yang di ambil dari laut Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, diantaranya Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium, Corynebacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas danVibrio, sedangkan sejumlah penelitian lainnya  telah menemukan beberapa bakteri pendegradasi minyak dari perairan tropis, diantaranya Pseudomonas cepacia dan P. gladioli yang diisolasi dari perairan Kalimantan Timur, demikian juga Achromobacter putrefasciens, Acinetobacter haemolyticus, dan Vibrio algynolyticus yang berhasil diisolasi dari perairan laut Jawa. Bahkan ada juga sejumlah penelitian lain yang mengisolasi Acinetobacter, Arthrobacter, Micrococcus dan Bacillus dari perairan Dumai dan Selat Malaka. Genus Alcanivorax, Marinobacter, Bacillus dan Achromobacter merupakan genera yang umum ditemukan di lokasi penelitian.
Marinobacter dan Alcanivorax terdapat di mana-mana di perairan laut tropis, namun Oceanobacter-related menjadi dominan di perairan tropis yang diperkaya dengan pupuk. Diperkirakan bakteri ini merupakan bakteri pemakan n-alkana di perairan tropis. Alcanivorax merupakan genus yang umum ditemukan di semua lokasi penelitian di Teluk Jakarta, sehingga dianggap mempunyai penyebaran yang kosmopolitan. Genus ini meliputi Alcanivorax dieselolei, Alcanivorax sp TE-9, Alcanivorax sp. EPR 6 dan Alcanivorax sp B 1084. Alcanivorax sebagai genus yang kosmopolitan telah dilaporkan di beberapa tempat diantaranya di perairan Indonesia. Lebih dari 250 spesies dari genus afiliasi Alcanivorax telah diisolasi dan dideteksi menggunakan sekuens 16S rRNA. Bakteri ini dapat berada di beberapa tipe lingkungan laut, baik dalam komunitas bakteri maupun kultur tunggal bakteri yang diisolasi dari lingkungan subtropis.
2.    Biostimulasi, suatu proses dimana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli lingkungan tersebut dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan/atau mengubah habitat (Ahmad Thontowi: 2013).

5.    Manfaat Bioremediasi
Penerapan bioremediasi memberikan manfaat yang banyak, manfaat tersebut antara lain bioremediasi dapat mengontrol atau mereduksi bahan pencemar lingkungan, relatif lebih ramah lingkungan, biaya operasional lebih murah, dan bersifat fleksibel.

D.  Terapan Bioteknologi Terhadap Pencemaran Tanah
1.    Kasus Pencemaran Tanah
15  Pabrik Jadi Target Pemeriksaan Terkait Pencemaran Limbah Berat
Rabu, 4 Agustus 2004

SEDOT AIR : Seorang petani di Karanganyar berusaha menyedot air dari saluran irigasi yang diduga terkena limbah dengan menggunakan selang dan genset. Dia nekat mengambil air itu, karena tidak ada sumber air lain yang dapat digunakan untuk mengairi sawahnya.(79)



KARANGANYAR- Lima belas perusahaan besar yang beroperasi di tiga kecamatan, yaitu Jaten, Kebak kramat, dan Tasikmadu, menjadi target pemeriksaan dan pengawasan. Mereka diduga sebagai penyebab pencemaran logam berat di tiga kecamatan tersebut.
Selain menjadi target Dinas Lingkungan Hidup (LH) Karanganyar, perusahaan itu juga menjadi perhatian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Jateng.
Ke-15 perusahaan itu adalah PT LG, PT DSSA, PT NA, PT SK, PT Sw III, PT SB, PT Bng, PT Sbu, PT IA, PT PR, PT KS, PT ASS, PT AKTC, PT SKA, dan PT Sw IV.
''Delapan industri tersebut secara berurutan menjadi target pengawasan Bapedalda Jateng. Sedangkan tujuh industri lain menjadi perhatian Dinas LH. Jika sewaktu-waktu perusahaan tertangkap basah membuang limbah berat, saat itu juga Dinas LH akan melakukan pemberkasan kasus,'' kata salah satu staf Dinas LH yang enggan disebut namanya.
Lima belas industri besar yang sudah ditetapkan menjadi target pemeriksaan dan pengawasan itu, membuang limbah langsung ke sungai. Selain itu, juga masih ada kebocoran aliran dari dust collector, tidak masuk sepenuhnya pada IPAL, serta masih ditemukan hasil analisis limbah, terutama cair yang masih fluktuatif. Kadang-kadang kondisi limbah akhir itu, baik sesuai dengan ambang batas maupun baku mutu air limbah yang diperbolehkan dibuang ke sungai, sudah jelek.
Kendati sudah ditetapkan 15 industri besar yang menjadi target pemeriksaan, Kepala Dinas LH Sartono SH mengaku masih akan menunggu klarifikasi secara resmi dari pihak UNS, sebelum mengambil tindakan konkret. ''Kami masih menunggu hasil penelitian itu secara resmi,'' kata dia, kemarin.
Terkait dengan penyakit gatal-gatal yang diderita warga yang menggunakan atau mengonsumsi air sumur, yang diduga tercemar logam berat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Karanganyar dr Ninik Sri Hartanti MSi mengaku belum menerima laporannya secara resmi.
''Kalau pun muncul penyakit gatal-gatal di lokasi sekitar pembuangan limbah, pasti ditangani puskesmas di kecamatan setempat. Tolong cek ke puskesmas di wilayah itu, kalau ingin mendapatkan data. Sebab, kami tidak punya data,'' kata dia di ruang kerjanya, kemarin.
Sayang, ketika Suara Merdeka mendatangi Puskesmas Jaten yang membawahkan kawasan itu, belum berhasil menemui dokter yang bertugas. Beberapa staf tidak berani memberikan informasi. ''Silakan menghubungi dokter besok,'' kata salah seorang staf puskesmas.
Masih Menunggu
Kepala Dinas Pertanian Ir Hartono MM mengatakan, untuk mengembalikan kondisi tanah yang tercemar limbah berat seperti semula, pihaknya bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Indonesia (UI). Terutama di lokasi-lokasi yang terkena limbah secara akut, seperti di Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, dan sebelah utara Kecamatan Tasikmadu.
''Sebenarnya kerja sama itu terjalin sejak akhir 2002. Sebab, pecemarannya sudah beberapa tahun silam. Hanya sekarang mungkin sangat parah. Meski demikian, kami masih mengkaji hasil penelitian itu,'' kata dia, kemarin.
Hartono berharap, para pemilik perusahaan besar yang diduga melakukan pencemaran itu mau memahami nasib para petani, dengan cara tidak membuang limbah seenaknya. Sebab, kondisi petani sekarang sangat sulit. Apalagi harga gabah sekarang secara nasional juga jatuh.
Dia mengakui, produksi padi dari kawasan itu memang kurang baik. Berasnya mangkak (agak kusam) dibandingkan dengan beras hasil sawah di kawasan pertanian yang lain. Ketika dijual, harganya jatuh, karena saat dimasak cepat basi. ''Kondisinya memang seperti itu. Namun saya belum memiliki data tentang produksi padi di tiga kawasan yang diduga tercemar tersebut,'' kata dia.
Polda Terjunkan Tim
Kapolda Jateng Irjen Chaerul Rasjid menaruh perhatian serius terhadap dugaan kasus pencemaran di Kabupaten Karanganyar. Mulai kemarin, Polda sudah menerjunkan tim yang dipimpin beberapa perwira untuk mengecek. ''Saya serius menangani kasus ini. Karena saya tidak ingin ada pencemaran lingkungan seperti di Teluk Buyat, Minahasa,'' ujar Kapolda saat kunjungan ke Polres Batang, kemarin sore.
Penjelasan itu disampaikannya saat menanggapi kasus dugaan pencemaran logam berat di wilayah Kecamatan Jaten, Tasikmadu, dan Kebakramat, Kabupaten Karanganyar. Diduga tidak hanya berdampak buruk terhadap hasil pertanian, tapi juga mengganggu kesehatan.
Masyarakat harus dilindungi dari hal-hal seperti itu. Kalau dari hasil pemeriksaan laboratorim kriminal memang terbukti, maka akan diambil tindakan hukum. ''Kalau dari hasil penelitian dari Labfor tebukti, maka kami akan mengambil tindakan,'' jelas Kapolda.
Air sumur sejumlah warga di wilayah Dukuh Sawahan, Desa/Kecamatan Jaten, Karanganyar, yang berwarna sama dengan air sungai di dekatnya, diduga akibat ada intrusi limbah ke air tanah. Karena itu, Pemkab Karanganyar seharusnya juga meneliti air sumur warga di lokasi tersebut.
''Jika air sumur digunakan untuk mandi, apalagi dipakai memasak, maka kandungan logam beratnya akan masuk dalam tubuh manusia. Ini bahaya, karena paling tidak bisa menyebabkan kanker pencernaan dan kanker kulit,'' kata Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan UNS, Sajidan, kemarin.
Untuk mengantisipasi pencemaran logam berat Cromium (Cr) pada sekitar 80 persen wilayah tiga kecamatan, yakni Jaten, Kebakkramat, dan Tasikmadu, maka pemerintah bisa mengoordinasi pembuatan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) terpadu dari beberapa pabrik di sana. ''Untuk mengurangi cemaran Cr dan Cd (Cadmium), bisa menggunakan environmental by technology. Masukkan saja bakteri pengurai logam berat pada jaringan IPAL terpadu itu,'' jelas Sajidan.
Patron-Klien
Dari aspek sosial-budaya, pencemaran logam berat di wilayah tiga kecamatan itu, menurut staf peneliti PPLH UNS Bidang Sosial Budaya Drs Tundjung W Sutirto MSi, bisa membuat was-was masyarakat. Dia mencontohkan, masyarakat akan menjadi gamang saat membeli beras, jangan-jangan beras itu berasal dari sawah yang terkena pencemaran. Dampak sosial-budaya akibat pencemaran itu juga bisa menimbulkan perubahan perilaku masyarakat.
Tapi yang kemudian menimbulkan pertanyaan, misalnya, mengapa masyarakat di tiga kecamatan itu belum berupaya meminta pertanggungjawaban pada pihak-pihak sebagai perusakan lingkungan. ''Ada beberapa kemungkinan, tapi kemungkinan yang paling masuk akal adalah keterjalinan hubungan patron-klien antara pihak industri dan tokoh masyarakat setempat. Akibatnya, hal itu jadi simpul-simpul yang susah diurai, terutama bisa terjadi pencemaran dari pabrik. Sebab, jika terjadi sesuau pada pabrik, itu juga akan berpengaruh terhadap stabilitas masyarakat setempat,'' jelasnya.
Yang dia khawatirkan, jaringan birokrasi di Karanganyar masuk dalam sistem patron-klien tersebut. ''Nyatanya sudah ada laporan gatal-gatal dan air sumur berwarna dari masyarakat, tapi tak ditanggapi Pemkab Karanganyar,'' ujarnya. (G8,ar,D11-69t)[14]

Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung benda organik dan anorganik yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Pencemaran tanah menyebabkan tanah mengalami perubahan susunan, sehingga mengganggu kehidupan jasad yang hidup dalam tanah maupun di permukaan tanah. Salah satu penyebab pencemaran tanah yaitu limbah yang mengandung logam berat, yang dalam jumlah sedikit ataupun banyak sangat berbahaya untuk makhluk hidup, khususnya manusia dapat mengakibatkan kematian.
Begitu berbahayanya logam berat untuk makhluk hidup membuat manusia berusaha mencari cara untuk bisa menanggulangi pencemaran tersebut. Salah satu cara untuk menanggulangi pencemaran tersebut yaitu dengan cara bioremediasi, suatu proses pemulihan polutan dengan memanfaatkan jasa makhluk hidup seperti mikroba, bakteri, fungi, khamir, tumbuhan hijau atau enzim yang dihasilkan dalam proses metabolisme dari organisme tersebut.

2.    Sumber Bahan Baku Bioremediasi Tanah
Logam berat adalah logam yang mempunyai berat lima gram atau lebih untuk setiap cm3 yang beratnya lima kali dari bobot air dan dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup. Hal ini terjadi jika sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu sangat berbahaya jika ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh makhluk hidup. Toksisitas (daya racun) logam berat tergantung dari jenis, kadar, efek sinergi-antagonis dan sifat fisik-kimianya. Semakin besar kadar logam berat maka daya toksisitasnya semakin besar. Urutan daya racun logam berat adalah sebagai berikut: Hg, Cd, Ag,Ni, Pb, As, Cr,Sn, Zn.
Diantara beberapa jenis logam yang telah ditemukan ternyata hanya beberapa logam yang sangat berbahaya yang dalam jumlah kecil sudah dapat menyebabkan keracunan fatal. Ada lima logam yang berbahaya bagi manusia yaitu: Merkuri (HgO), Kadmium (Cd), Perak (Ag), Timbal (Pb), dan Arsen (As). Selain itu ada tiga logam yang kurang beracun yaitu tembaga (Cu), selenium (Se), seng (Zn) (Gossel dan Bricker, 1984 dalam Lesmono, 2005). Timbal dapat menimbulkan keracunan pada sistem saraf, hematologik, hematotoksik dan mempengaruhi kerja ginjal. Toksisitas logam tembaga (Cu) pada manusia ditandai dengan beberapa gejala keracunan yaitu sakit perut, mual, muntah, diare dan beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian.

3.    Proses Pelaksanaan Bioremediasi Tanah
Tiga teknik dasar yang digunakan yaitu stimulasi aktivitas mikroorganisme asli dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, mengoptimalkan kondisi pH, dan lainnya. Inokulasi in situ dengan mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransforming tertentu, dan aplikasi enzim untuk mengimobilisasikan logam dengan cara menggunakan mikroorganisme dan penggunaan tanaman (fitoremediasi) untuk menghilangkan, membatasi atau mengubah polutan. Beberapa metode spesifik yang telah dan sedang dikembangkan untuk bioremediasi tanah dan air yang terkontaminasi yaitu termasuk di dalamnya pengomposan, landfarming, bioreaktor, fase-padat, dan perlakuan in situ. Pengomposan merupakan proses bioremediasi dimana material yang mudah dirombak digabungkan dan ditumpukan untuk pertumbuhan mikroorganisme termofilik. Landfarming adalah degradasi polutan ditingkatkan dengan penambahan nutrien dan oksigen pada tanah, kemudian kadar air dijaga untuk menciptakan lingkungan untuk aktivitas mikrobiologi dan untuk meningkatkan kemungkinan kontak antara kontaminan dan mikroorganisme.
Bioremedisasi in situ melibatkan penggunaan organisme untuk menghilangkan polutan di lokasi kontaminasi. Organisme yang digunakan berasal dari lingkungan tersebut dan bahkan mungkin disesuaikan untuk pertumbuhan pada kontaminan kimia dalam lingkungan tertentu. Keberhasilan bioremediasi di tanah dipengaruhi tiga faktor independen namun saling terkait yaitu kontaminan, mikroorganisme, dan lingkungan. Ada beberapa mekanisme mikroba beradaptasi pada kondisi tercemar logam antara lain mikroba memanfaatkan logam sebagai sumber energi, mempresipitasikan logam dalam bentuk garam-logam yang tidak larut, mengimobilisasi logam dalam dinding sel, memproduksi agen pengkelat, mengubah permeabilitas membran sel mikroba terhadap logam, dan mereduksi logam menjadi bentuk yang tidak toksik.
Pemanfaatan mikroba sebagai agen bioremediasi logam berat telah terbukti. Penelitian mengenai BPS (bakteri pereduksi sulfat). Hasil penelitian menunjukan bahwa BPS dapat digunakan untuk mereduksi sulfat pada tanah bekas tambang batubara dengan efisiensi 80% dalam waktu 10 hari. Di samping itu, bahan yang mengandung BPS diaplikasikan dengan dosis 25% dari total volume tanah dapat menurunkan ketersedian Fe, Mn, Zn dan Cu dengan efisiensi mencapai 90% dalam inkunbasi 15 hari. Proses terimobilkan logam berat dalam Kristal kalsit bahwa limbah pabrik yang banyak mengandung logam berat dapat dibersihkan oleh mikroorganisme dengan cara menjerapnya menjadi bentuk imobilisasi logam berat. Jenis mikroba tersebut yaitu Bacillus subtillis yang memiliki kemampuan mengikat beberapa logam berat seperti Pb, Cd, Cu, Zn, Al dan Fe.[15]
                               
E.  Pandangan Islam Terhadap Bioteknologi Lingkungan
Dari pembahasan di atas kita telah mengetahui cara-cara mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi. Pada sub bab ini, kami akan membahas mengenai pandangan islam terhadap terapan bioteknologi terhadap pencemaran lingkungan yang telah kami bahas sebelumnya. Dari pembahasan sebelumnya, kita dapat mengetahui bahwa terdapat 2 terapan bioteknologi untuk mengatasi pencemaran lingkungan yaitu biogas dan bioremediasi. Diantara kedua terapan tersebut, salah satunya yaitu biogas menggunakan benda yang sering kita ketahui sebagai najis atau kotoran. Lalu bagaimana hukumnya bila kita menggunakan terapan bioteknologi tersebut?
   Berikut ini penjelasan hukum perubahan tinja menjadi bentuk uap oleh keempat imam besar Islam:
a.    Hanafiyah berpendapat bahwa asap yang keluar dari benda najis dihukumi suci. Tidak hanya asap saja yang dihukumi suci, amoniak yang mengental dan berkumpul dari asap turut dihukumi juga. Di dalam mazhab Malikiyah disebut-sebut terdapat perbedaaan pendapat. Namun,perbedaan pendapat ini akhirnya mengerucut pada pendapat yang mengatakan bahwa asap yang keluar dari benda najis adalah suci. Tentang persoalan abu dari najis, kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa pembakaran dapat menyucikan benda najis. Dengan demikian, benda najis yang dibakar kemudian berubah menjadi debu, maka debu tersebut adalah suci. Namun demikian, kesucian benda yang dibakar harus menghasilkan benda baru. Sehingga jika pembakaran tersebut tidak menghasilkan benda baru, maka benda tersebut tetap dihukumi najis. Untuk kepentingan penjelasan inilah, Ibn Abidin perlu meluruskan dengan menyatakan bahwa tidak semua benda yang terkena api serta merta berubah menjadi suci. Namun pembakaran tersebut haruslah menghasilkan benda baru yang berbeda dari benda najis sebelumnya. intinya harus adalah istih}a>lah.
b.    Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa abu yang dihasilkan dari tinja manusia yang dibakar adalah najis. Karena menurut pandangan Syafi’iyah kenajisan abu tinja manusia disebabkan oleh zat tinja itu sendiri. Tidak hanya itu saja, benda najis apapun yang dibakar kemudian menjadi abu tidak lantas berubah menjadi suci. Jika disederhanakan, bahwa pembakaran tidak dapat menyucikan benda najis atau mutanajjis.
c.    Sementara mazhab Hanabilah berpendapat sama dengan pendapat mazhab Syafi’iyah bahwa asap yang keluar dari benda najis adalah najis. Namun demikian, Hanabilah masih dapat mentoleransi jika asap tersebut sedikit. Penyebutan toleran bukan berarti merubah status hukum asap najis menjadi suci. Asap najis, tetaplah najis namun keberadannya tidak berpengaruh apa-apa dalam konsekuensi hukum. mazhab Hanabilah berpendapat bahwa istih}a>lah tidak menyucikan benda najis.Oleh karena itu, abu yang dihasilkan dari pembakaran tidaklah suci.
d.   Sementara Malikiyah menghukumi abu yang dihasilkan dari pembakaran dihukumi suci. Namun, kesucian abu hasil pembakaran tidak diperoleh dari hasil pembakaran. Karena dalam pandangan Malikiyah, pembakaran tidak dapat menyucikan najis. Malikiyah hanya memasukkan kesucian abu pembakaran berdasarkan dalil istis}h}a>b, yaitu mengembalikan hukum pada asal mula bahwa hukum abu kembali pada pada hukum asal yaitu suci. Pada contoh kasus, roti yang dipanggang dengan bahar bakar tinja (unta/kuda) yang sudah mengering, roti tersebut dihukumi suci karena sudah ‘umu>m al-balwa>, yaitu sebuah kondisi bahwa kesulitan (mencari kayu bakar) sudah merata.
Adapun pendapat mengenai sucinya penggunaan biogas yang berasal dari kotoran yaitu pembakaran yang menghasilkan asap dan abu benda najis dilakukan atas benda najis itu sendiri (‘ain al-Najãsah), seperti tinja manusia dibakar menghasilkan asap dan abu, tinja unta dibakar menghasilkan asap dan abu. Sementara pembakaran biogas (yang dijadikan sebagai bakan bakar memasak, sebagai api) dilakukan pada gas. Yang dibakar bukanlah bendanya (‘ayn al-najasah yaitu tinja manusia), namun gas yang keluar dari benda najis itulah yang dibakar. [16] Kami hanya memberikan informasi, keputusan tetaplah ada di tangan anda.












[1] Jawa Pos Grup, Warga Keluhkan Bau Kotoran Babi, 10 Februari 2012, <http://www.radarjogja.co.id/sleman-dan-bantul/23915-warga-keluhkan-bau-kotoran-babi.html>, diakses pada Jumat, 19 Maret 2013
[2] Mariska Harya Virdhani, ‘Cemari Lingkungan, RPH Pancoran Mas Depok Diminta Tutup,’ Sindonews (online), 3 Februari 2013, <http://metro.sindonews.com/read/2013/02/03/31/713868/cemari-lingkungan-rph-pancoranmas-depok-diminta-tutup>, diakses 19 Maret 2013
[3] Suhut Simora, dkk., Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak (Jakarta Selatan: PT. Agro Media Pustaka, 2005), h. 6
[4] Erliza Hambali, dkk., Teknologi Bioenergi (Jakarta Selatan: PT. Agromedia Pustaka, 2008), h. 52
[5]Anonim. BAB II Tinjauan Pustaka, <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17642/11/Chapter%20II.pdf.txt>, Diakses pada 20 Maret 2013
[6] Suhut Simora, Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak, h. 11
[7] Erliza Hambali, Teknologi Bioenergi, h. 57-60
[8] Suhut Simora, Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak, h. 26-28
[9] Ibid., h. 30-32
[10] Ibid., h. 33-34
[11] Saladin Ayyubi, ‘Kapal Pertamina Bocor Cemari Laut Cilacap,’ okezone news (online), 2008, <http://news.okezone.com/read/2008/04/04/1/97632/kapal-pertamina-bocor-cemari-laut-cilacap>, diakses pada 19 Maret 2013

[12] Ahmad Thontowi, Tesis Potensi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon Alkana Sebagai Agen Bioremediasi Pencemaran Minyak Di Laut Indonesia, <http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41546/2008ath.pdf?sequence=10>, Diakses Pada 21 Maret 2013
[13] Tutiks, Bioremediasi, <http://forum.upi.edu/index.php?topic=14106.0>, diakses pada 24 Maret 2013
[14] Suara merdeka, ‘15 Pabrik jadi Target Pemeriksaan Akibat Pencemaran Limbah Berat,’ Suara Merdeka (online),4 Agustus 2004,< http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/04/nas03.htm>, diakses pada 19 Maret 2013
[15] Suhendrayatama, Heavy metal bioremoval by microorganism; a literatute study, <http:// www.istecs.org/Publication/Japan/010211 suhendrayata.pdf>, diakses pada 21 Maret 2013

[16] Wawan Juandi, dkk., Biogas Tinja dalam Prespektif Fiqih-Kimia, <http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/view/579/471>, Diakses pada 23 Maret 2013