Minggu, 27 Oktober 2013

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU



BAB II
STRATEGI DAN PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU

A.    Guru dan Problematikanya
            Sebuah profesi didefinisikan sebagai “sebuah panggilan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan sering kali membutuhkan persiapan akademis yang panjang dan intensif” (Merriam-Webster, 2004).[1] Ada standar tertentu untuk memasuki sebuah profesi.  Para professional memberikan layanan kepada pelanggan. Pekerjaan mereka bersifat intelektual, membutuhkan pengetahuan khusus dan keterampilan.[2] Mereka terikat dengan kode etik yang menuntun mereka dalam berhubungan dengan pelaggan dan rekan kerja.
Inilah sekilas mengenai suatu profesi.
            Sebagian besar guru menganggap mereka professional. Tetapi, sampai saat ini, mengajar dianggap semi profesi jika dibandingkan profesi dalam bidang kedokteran, hukum, arsitek, atau akuntansi. Ada beberapa alasan yang terkait dengan pernyataan tersebut. Satu, bahwa mengajar tidak menyediakan keuntungan finansial atau gengsi bidang profesi secara tradisional. Kedua, pekerjaan ini mempunyai kontrol yang relatif kecil terhadap bidang pekerjaannya. Kebanyakan guru mempunyai akses terbatas pada computer, telepon, kantor, dan sekretaris. Kegiatan keseharian mereka juga memberi sedikit waktu untuk berinteraksi dengan rekan kerja guna merencanakan atau menantang satu sama lain secara intelektual.  Walaupun demikian, perubahan pada 7 tahun terakhir telah mengubah mengajar menjadi seperti profesi yang lain.
            Sejak disahkankannya Undang-undang Guru dan Dosen tahun 2005, gengsi profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai diminati lagi oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan di tahun 2007. Banyak guru yang mengikuti sertifikasi guru agar dapat memperoleh sertifikat guru dan dijuluki guru profesional.
Lebih dari 10 tahun yang lalu jarang sekali ada di antara anak didik yang mengangkat tangan ketika gurunya bertanya  siapakah diantara kalian yang mau jadi guru? Tak ada satupun anak yang mempunyai minat menjadi guru atau mungkin ada tetapi hanya sedikit yang bersedia. Alasannya, mereka bilang “gaji guru kecil sich pak! Enakkan jadi tentara, pegawai,atau profesi lainnya.
            Lain dulu lain sekarang. Profesi guru sekarang ini mulai banyak diminati. Banyak media membicarakannya. Banyak media memuji perannya. Tetapi juga tak sedikit media yang mencacinya karena kekurang profesionalan guru itu sendiri dalam melaksanakan pekerjaanya. Profesi guru dan problematika yang dihadapinya memang perlu dijelaskan pada tulisan ini. Bukan hendak membela profesi guru, tapi juga berupaya mengungkapkan problem yang dihadapinya karena guru juga manusia yang punya kekurangan dan kelebihan
            Problem pertama guru yang terlihat jelas sekarang ini adalah kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri. Banyak guru yang terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tidak muncul ke permukaan. Jik dibilang pemerintah yang tidak mendukung guru untuk melakukan penelitian, 100% ini pernyataan yang salah. Setiap tahun pemerintah, dalam hal ini depdiknas selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tingkat nasional yang diselenggrakan oleh direktorat Profesi Guru. Bisanya para guru akan sibuk meneliti bila mereka mau naik pangkat saja. Karenanya guru harus diberikan bekal agar dapat melakukan sendiri Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan memperbaiki kualitas pembelajarannya di sekolah.
            Problem kedua guru adalah masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Terlihat jelas dikotomi antara guru PNS dan guru honorer. Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Jangankan buat membeli buku, untuk biaya hidupnya saja mereka sudah kembang kempis. Banyak pula guru yang tak sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, karena kecilnya penghasilan yang didapatnya setiap bulan. Dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan, semoga kesejahteraan guru ini dapat terwujud. Ini adalah program pemerintah SBY-JK dan Bodieono kalau kesejahteraan guru akan semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan guru, maka akan berimbas kepada peningkatan mutu guru dan kualitas pendidikan di sekolah.
            Profesi guru adalah pilar terpenting untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila profesi ini lebih diperhatikan, terlebih kesejahteraannya. Tetapi, jangan karena kesejahteraan kurang kemudian kreativitas menjadi mati. Coba perhatikan guru-guru di daerah terpencil. Gaji mereka tidak seberapa. Tapi loyalitasnya terhadap pendidikan begitu luar biasa. Banyak contoh lain yang meskipun kesejahteraannya kurang, tapi komitmen terhadap pendidikan tetap tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang gajinya sudah tinggi tapi tetap ogah-ogahan mengajar. Semua ini kembali pada hati nurani kita.
            Problem ketiga dari guru adalah kurang kreatifnya guru dalam membuat alat peraga dan media pembelajaran. Selama ini masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah saja dalam pembelajarannya. Mereka tak pernah berpikir untuk membuat sendiri media pembelajarannya. Kalau saja para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan berbagai alat peraga dan media yang dapat digunakan guru untuk menyampaikan materi pembelajarannya. Guru yang kreatif tak akan pernah menyerah dengan keadaan. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu kreatif memanfaatkan sumber belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas. Profesionalitas guru dalam menciptakan kegiatan pendidikan di sekolah yang bermutu merupakan prasyarat terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif dan mandiri di masa datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan kontinyu bagi peningkatan dan pengembangan kemampuan professional guru.
            Untuk mengatasi problematika guru di atas, diperlukan kerjasama dari kita semua untuk dapat saling membantu agar guru mampu meneliti, mendapatkan income tambahan dari keprofesionalannya, dan menyulut guru untuk kreatif dalam mengembangkan sendiri media pembelajarannya. Bila itu semua dapat terwujud, maka kualitas pendidikan kita pun akan meningkat. Semoga guru dapat mengatasi sendiri problematika yang dihadapinya.
            Dunia akademis seringkali mengalami kepedihan karena terpecah belah. [3]Mulai dari kurangnya jumlah dan kualitas guru (padahal Sarjana Pendidikan bertebaran dan banyak yang lebih memilih menekuni dunia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan), kurangnya sarana dan prasarana (padahal APBD dan APBN telah dianggarkan 20% untuk pendidikan, dan banyak problema lainnya.
Perbaikan tentunya ada dan harus selalu ada. Bila tidak, bangsa ini akan semakin tertinggal.

B.     Pengembangan Kompetensi Guru
            Pada pasal 8 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
            Dalam pasal 9 selanjutnya dijelaskan bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Dalam pasal 10 UU No.14/2005 dijelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang didapatkan melalui pendidikan profesi.
            Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kompetensi adalah kewenangan untuk mengambil keputusan atau bertindak. Menurut , Marcus Buckingham & Curt Coffman kompetensi adalah sebagian keahlian,sebagia pengetahuan, dan sebagian bakat. Istilah itu menyatukan begitu saja beberapa karakteristik yag dapat diajarkan, dengan karakteristik yag tak dapat diajarkan.[4] Menurut Russel C. Swansburg, kompetensi merupakan kualitas pribadi atau kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diperlukan.[5]
            Dari beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kompetensi adalah keahlian seseorang dalam bidangnya. Seorang guru memiliki pekerjaan khusus yang memerlukan keahlian khusus pula. Berikut merupakan penjabaran kompetensi yang harus dimiliki oleh guru berdasarkan UU no 14/2005 tentang guru dan dosen:
1.      Kompetensi pedagogic
            Kompetensi pedagogic adalah kemampuan mengelola pembelajaran. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi:
a.       Pemahaman tentang peserta didik
b.      Pemahaman tentang pendidikan dan pembelajaran
c.       Pemahaman tentang kurikulum sekolah
d.      Perencanaan pembelajaran
e.       Pelaksanaan pembelajaran
f.       Evaluasi proses dan hasil belajar
g.      Peningkata proses pembelajaran melalui penelitian
h.      Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi potensi yang dimiliki
Sedangkan menurut PP no 734 tahun 2008, kemampuan seorang guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik, sekurangkurangnya memiliki:
a.        Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b.       Pemahaman terhadap peserta didik;
c.        Pengembangan kurikulum atau silabus;
d.       Perancangan pembelajaran;
e.        Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
f.        Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g.       Evaluasi hasil belajar; dan
h.       Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi kepribadian
                  Seorang guru diharapkan memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik. Dalam PP No. 74/2008 disebutkan bahwa dalam sekurang-kurangnya seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian sebagai berikut:
a.       Beriman dan bertakwa;
b.      Berakhlak mulia;
c.       Arif dan bijaksana;
d.      Demokratis;
e.       Mantap;
f.       Berwibawa;
g.      stabil;
h.      Dewasa;
i.        Jujur;
j.        Sportif;
k.      Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l.        Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m.    Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

3.      Kompetensi social
      Seorang guru diharapkan mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik pada peserta didik, orang tua/wali, sesama guru, dan masyarakat sekitar.  Dalam PP No. 74/2008 disebutkan, sekurang-kurangnya seorang guru harus kompeten dalam:
a.       Berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b.      Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c.       Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik;
d.      Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan
e.       Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
4.      Kompetensi profesional
      Seorang guru diharapkan mampu menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam. Atau, dalam bahasa PP No. 74/2008 disebutkan bahwa kemampuan professional sekurang-kuragnya menguasai:
a.       Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan
b.      Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang lebih menekankan pada segi aplikasi dengan kajian analisis dan pemecahan masalah (problem based). [6] Selain pendidikan profesi, terdapat pula pendidikan akademik. Pendidikan akademik lebih menekankan pada segi  teori dan kajian penelitian. Pendidikan profesi diadakan di atas S1 atau D-4.
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi.
C.  Strategi dan Pengembangan Profesional Guru
Pemerintah berusaha mewujudkan guru professional dengan melakukan empat tahap berikut ini:
(1)    Penyediaan guru berbasis perguruan tinggi.
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara sebagai guru profesional.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 membedakan antara pembinaan dan pengembangan kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV. Pengembangan dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi yang sudah S1 atau D-IV dan sudah memiliki sertifikat pendidik, pengembangan dan peningkata profesi dilakukan melalui system pembinaan dan pengembangan keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.[7]
(2)    Induksi guru pemula berbasis sekolah.
      Para guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan sudah sarjana satu atau diploma empatyang sudah direkrut harus memasuki fase prakondisi yang disebut dengan induksi. Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional.
(3)     Profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi,
      Kegiatan yang dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya
(4)   Profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani[8]
      Seorang guru dapat melakukan peningkatan kualitas dirinya dengan belajar secara mandiri. Dalam hal ini, mereka melakukan proses belajar dengan cara mengaktifkan diri pada kegiatan belajar dan berlatih. Dalam melakukan kegiatan belajar mandiri ini, kegiatan belajar ini dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun dilakukan secara kelompok.
      Dalam belajar mandiri secara berkelompok dapat dilakukan misalnya dengan mengaktifkan kinerja MGMP. MGMP atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran merupakan satu kelompok guru dengan mata ajar yang sama dan mengadakan kegiatan efektif untuk pengkondisian proses pendidikan dan pembelajaran.  Dalam kegiatannya, para guru mencoba untuk mensinkronkan langkah, persepsi, dan apresiasi terkait dengan cara musyawarah.[9]
Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, baik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah haruslah memiliki kompetensi dan profesionalitas yang stabil. Karena itu, terdapat upaya yang sugguh-sungguh dari penerintah agar profesionalisme guru tersebut dapat tetap terjaga. PP No. 74 Tahun 2005 tentang Guru mengamanatkan bahwa terdapat dua alur pembinaan dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan pengembangan profesi, dan pembinaan dan pengembangan karir.[10]
Pembinaan dan pengembangan keprofesian guru meliputi pembinaan kompetensi-kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan karier meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Promosi yang dimaksud berupa kenaikan pangkat dan atau kenaikan jenjang jabatan fungsional. Upaya pembinaan dan pengembangan karir guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional mereka.
Sesuai dengan isi pasal 48 PP No. 74/2008, pengembangan dan peningkatan kompetensi Guru dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian Guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.
Kegiatan untuk memperoleh angka kredit jabatan fungsional tersebut diperoleh Guru sekurang-kurangnya melalui:
a.       Kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru;
b.      Pendidikan dan pelatihan;
c.       Pemagangan;
d.      Publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif;
e.       Karya inovatif;
f.       Presentasi pada forum ilmiah;
g.      Publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan;
h.      Publikasi buku pengayaan;
i.        Publikasi buku pedoman Guru;
j.        Publikasi pengalaman lapangan pada pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus; dan/atau
k.      Penghargaan atas prestasi atau dedikasi sebagai Guru yang diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, lembaga pelatihan (training provider) nonpemerintah,penyelenggara, atau satuan pendidikan. Di tingkat satuan pendidikan, program ini dapat dilakukan oleh guru pembina, guru inti, koordinator guru kelas, dan sejenisnya yang ditunjuk dari guru terbaik dan ditugasi oleh kepala sekolah. Analisis kebutuhan, perumusan tujuan dan sasaran, desain program, implementasi dan layanan, serta evaluasi program pelatihan dapat ditentukan secara mandiri oleh penyelenggara atau memodifikasi/mengadopsi program sejenis.
Pembinaan dan pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Sebagai bagian dari pengembangan karir, kenaikan pangkat merupakan hak guru. Dalam kerangka pembinaan dan pengembangan, kenaikan pangkat ini termasuk ranah peningkatan karir. Kenaikan pangkat ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, kenaikan pangkat dengan sistem pengumpulan angka kredit. Kedua, kenaikan pangkat karena prestasi kerja atau dedikasi yang luar biasa.
Dengan adanya pembinaan dan pengembangan karier dan profesionalitas, diharapkan para praktisi pendidikan tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pendidik bangsa, untuk mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan berkualitas.


[1] Gene E Hall, Linda F Quinn, dan Donna M. Gollnick, Mengajar Dengan Senang: Menciptakan Perbedaan dalam Pembelajaran Siswa (Jakarta: Indeks, 2008), h. 10
[2] Ibid., h. 11
[3] Palker J Palmer, Keberanian Mengajar: Menjelajahi Ruang Nurani Kehidupan Guru,  (Jakarta; Indeks, 2009), h. 31.
[4] Marcus Buckingham & Curt Coffman, Pertama, Langgar Semua Aturan, ( Jakarta: Azkia, 2009), hal. 99.
[5] Russel C. Swansburg, Pengembangan Staf Keperawatan: Suatu Komponen Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: EGC, 2001), hal. 43
[6] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), hal. 391.
[7] Ibid, hal. 9.

[8] Ibid, hal. 8.
[9] Mohammad Saroni, Personal Branding Guru: Meningkatkan Kualitas dan Profesionalitas Guru, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal 220.
[10] Ibid, hal. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar