BAB
II
STRATEGI
DAN PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU
A. Guru
dan Problematikanya
Sebuah profesi didefinisikan sebagai
“sebuah panggilan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan sering kali membutuhkan persiapan
akademis yang panjang dan intensif” (Merriam-Webster, 2004).[1]
Ada standar tertentu untuk memasuki sebuah profesi. Para professional memberikan layanan kepada
pelanggan. Pekerjaan mereka bersifat intelektual, membutuhkan pengetahuan
khusus dan keterampilan.[2]
Mereka terikat dengan kode etik yang menuntun mereka dalam berhubungan dengan
pelaggan dan rekan kerja.
Inilah
sekilas mengenai suatu profesi.
Sebagian besar guru menganggap
mereka professional. Tetapi, sampai saat ini, mengajar dianggap semi profesi
jika dibandingkan profesi dalam bidang kedokteran, hukum, arsitek, atau
akuntansi. Ada beberapa alasan yang terkait dengan pernyataan tersebut. Satu,
bahwa mengajar tidak menyediakan keuntungan finansial atau gengsi bidang
profesi secara tradisional. Kedua, pekerjaan ini mempunyai kontrol yang relatif
kecil terhadap bidang pekerjaannya. Kebanyakan guru mempunyai akses terbatas
pada computer, telepon, kantor, dan sekretaris. Kegiatan keseharian mereka juga
memberi sedikit waktu untuk berinteraksi dengan rekan kerja guna merencanakan
atau menantang satu sama lain secara intelektual. Walaupun demikian, perubahan pada 7 tahun
terakhir telah mengubah mengajar menjadi seperti profesi yang lain.
Sejak disahkankannya Undang-undang Guru
dan Dosen tahun 2005, gengsi profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai
diminati lagi oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam
jabatan di tahun 2007. Banyak guru yang mengikuti sertifikasi guru agar dapat
memperoleh sertifikat guru dan dijuluki guru profesional.
Lebih dari 10 tahun yang lalu jarang sekali ada di antara anak didik yang mengangkat tangan ketika gurunya bertanya siapakah diantara kalian yang mau jadi guru? Tak ada satupun anak yang mempunyai minat menjadi guru atau mungkin ada tetapi hanya sedikit yang bersedia. Alasannya, mereka bilang “gaji guru kecil sich pak! Enakkan jadi tentara, pegawai,atau profesi lainnya.
Lebih dari 10 tahun yang lalu jarang sekali ada di antara anak didik yang mengangkat tangan ketika gurunya bertanya siapakah diantara kalian yang mau jadi guru? Tak ada satupun anak yang mempunyai minat menjadi guru atau mungkin ada tetapi hanya sedikit yang bersedia. Alasannya, mereka bilang “gaji guru kecil sich pak! Enakkan jadi tentara, pegawai,atau profesi lainnya.
Lain dulu lain sekarang. Profesi
guru sekarang ini mulai banyak diminati. Banyak media membicarakannya. Banyak
media memuji perannya. Tetapi juga tak sedikit media yang mencacinya karena
kekurang profesionalan guru itu sendiri dalam melaksanakan pekerjaanya. Profesi
guru dan problematika yang dihadapinya memang perlu dijelaskan pada tulisan
ini. Bukan hendak membela profesi guru, tapi juga berupaya mengungkapkan
problem yang dihadapinya karena guru juga manusia yang punya kekurangan dan
kelebihan
Problem pertama guru yang terlihat
jelas sekarang ini adalah kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang
malas untuk meneliti di kelasnya sendiri. Banyak guru yang terjebak dalam
rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tidak muncul ke permukaan. Jik
dibilang pemerintah yang tidak mendukung guru untuk melakukan penelitian, 100%
ini pernyataan yang salah. Setiap tahun pemerintah, dalam hal ini depdiknas
selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tingkat
nasional yang diselenggrakan oleh direktorat Profesi Guru. Bisanya para guru
akan sibuk meneliti bila mereka mau naik pangkat saja. Karenanya guru harus
diberikan bekal agar dapat melakukan sendiri Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
yang bertujuan memperbaiki kualitas pembelajarannya di sekolah.
Problem
kedua guru adalah masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum
sejahtera. Terlihat jelas dikotomi antara guru PNS dan guru honorer. Banyak
guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku.
Jangankan buat membeli buku, untuk biaya hidupnya saja mereka sudah kembang
kempis. Banyak pula guru yang tak sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke
perguruan tinggi, karena kecilnya penghasilan yang didapatnya setiap bulan.
Dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan, semoga kesejahteraan guru ini
dapat terwujud. Ini adalah program pemerintah SBY-JK dan Bodieono kalau
kesejahteraan guru akan semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya
kesejahteraan guru, maka akan berimbas kepada peningkatan mutu guru dan
kualitas pendidikan di sekolah.
Profesi
guru adalah pilar terpenting untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu sudah
sepantasnya apabila profesi ini lebih diperhatikan, terlebih kesejahteraannya.
Tetapi, jangan karena kesejahteraan kurang kemudian kreativitas menjadi mati.
Coba perhatikan guru-guru di daerah terpencil. Gaji mereka tidak seberapa. Tapi
loyalitasnya terhadap pendidikan begitu luar biasa. Banyak contoh lain yang
meskipun kesejahteraannya kurang, tapi komitmen terhadap pendidikan tetap
tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang gajinya sudah tinggi tapi tetap
ogah-ogahan mengajar. Semua ini kembali pada hati nurani kita.
Problem ketiga dari guru adalah
kurang kreatifnya guru dalam membuat alat peraga dan media pembelajaran. Selama
ini masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah saja dalam
pembelajarannya. Mereka tak pernah berpikir untuk membuat sendiri media
pembelajarannya. Kalau saja para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan
berbagai alat peraga dan media yang dapat digunakan guru untuk menyampaikan
materi pembelajarannya. Guru yang kreatif tak akan pernah menyerah dengan
keadaan. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu kreatif memanfaatkan sumber
belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas. Profesionalitas guru
dalam menciptakan kegiatan pendidikan di sekolah yang bermutu merupakan
prasyarat terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif dan mandiri
di masa datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan
kontinyu bagi peningkatan dan pengembangan kemampuan professional guru.
Untuk
mengatasi problematika guru di atas, diperlukan kerjasama dari kita semua untuk
dapat saling membantu agar guru mampu meneliti, mendapatkan income tambahan
dari keprofesionalannya, dan menyulut guru untuk kreatif dalam mengembangkan
sendiri media pembelajarannya. Bila itu semua dapat terwujud, maka kualitas
pendidikan kita pun akan meningkat. Semoga guru dapat mengatasi sendiri problematika
yang dihadapinya.
Dunia akademis seringkali mengalami kepedihan karena terpecah belah. [3]Mulai dari kurangnya jumlah dan kualitas guru (padahal Sarjana Pendidikan bertebaran dan banyak yang lebih memilih menekuni dunia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan), kurangnya sarana dan prasarana (padahal APBD dan APBN telah dianggarkan 20% untuk pendidikan, dan banyak problema lainnya.
Perbaikan tentunya ada dan harus selalu ada. Bila tidak, bangsa ini akan semakin tertinggal.
Dunia akademis seringkali mengalami kepedihan karena terpecah belah. [3]Mulai dari kurangnya jumlah dan kualitas guru (padahal Sarjana Pendidikan bertebaran dan banyak yang lebih memilih menekuni dunia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan), kurangnya sarana dan prasarana (padahal APBD dan APBN telah dianggarkan 20% untuk pendidikan, dan banyak problema lainnya.
Perbaikan tentunya ada dan harus selalu ada. Bila tidak, bangsa ini akan semakin tertinggal.
B. Pengembangan Kompetensi Guru
Pada pasal 8 Undang-Undang nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa seorang guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Dalam
pasal 9 selanjutnya dijelaskan bahwa kualifikasi akademik seorang guru
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Dalam pasal 10 UU No.14/2005 dijelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki
guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social,
dan kompetensi professional yang didapatkan melalui pendidikan profesi.
Menurut
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kompetensi adalah kewenangan untuk mengambil
keputusan atau bertindak. Menurut , Marcus
Buckingham & Curt Coffman kompetensi adalah sebagian keahlian,sebagia pengetahuan,
dan sebagian bakat. Istilah itu menyatukan begitu saja beberapa karakteristik
yag dapat diajarkan, dengan karakteristik yag tak dapat diajarkan.[4]
Menurut Russel C. Swansburg, kompetensi merupakan kualitas
pribadi atau kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diperlukan.[5]
Dari
beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Atau dengan kata
lain, kompetensi adalah keahlian seseorang dalam bidangnya. Seorang guru
memiliki pekerjaan khusus yang memerlukan keahlian khusus pula. Berikut
merupakan penjabaran kompetensi yang harus dimiliki oleh guru berdasarkan UU no
14/2005 tentang guru dan dosen:
1.
Kompetensi pedagogic
Kompetensi
pedagogic adalah kemampuan mengelola pembelajaran. Hal ini tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
meliputi:
a. Pemahaman tentang peserta didik
b. Pemahaman tentang pendidikan dan
pembelajaran
c. Pemahaman tentang kurikulum sekolah
d. Perencanaan pembelajaran
e. Pelaksanaan pembelajaran
f. Evaluasi proses dan hasil belajar
g. Peningkata proses pembelajaran
melalui penelitian
h. Pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasi potensi yang dimiliki
Sedangkan menurut PP no 734 tahun
2008, kemampuan seorang guru dalam pengelolaan
pembelajaran peserta didik, sekurangkurangnya memiliki:
a.
Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. Pemahaman terhadap peserta didik;
c. Pengembangan kurikulum atau silabus;
d. Perancangan pembelajaran;
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis
f. Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. Evaluasi hasil belajar; dan
h. Pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.
Kompetensi kepribadian
Seorang guru diharapkan memiliki
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, serta menjadi
teladan bagi peserta didik. Dalam PP No. 74/2008 disebutkan bahwa dalam
sekurang-kurangnya seorang guru harus memiliki kompetensi kepribadian sebagai
berikut:
a. Beriman
dan bertakwa;
b. Berakhlak
mulia;
c. Arif
dan bijaksana;
d. Demokratis;
e. Mantap;
f. Berwibawa;
g. stabil;
h. Dewasa;
i.
Jujur;
j.
Sportif;
k. Menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l.
Secara obyektif
mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m. Mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
3.
Kompetensi social
Seorang
guru diharapkan mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik pada peserta
didik, orang tua/wali, sesama guru, dan masyarakat sekitar. Dalam PP No. 74/2008 disebutkan,
sekurang-kurangnya seorang guru harus kompeten dalam:
a.
Berkomunikasi lisan,
tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b.
Menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional;
c.
Bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan
pendidikan, orang tua atau wali peserta didik;
d.
Bergaul secara santun
dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang
berlaku; dan
e.
Menerapkan prinsip
persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
4.
Kompetensi profesional
Seorang
guru diharapkan mampu menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Atau, dalam bahasa PP No. 74/2008 disebutkan bahwa kemampuan professional
sekurang-kuragnya menguasai:
a. Materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu;
dan
b. Konsep
dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata
pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Pendidikan
profesi merupakan pendidikan yang lebih menekankan pada segi aplikasi dengan kajian analisis dan pemecahan masalah (problem based). [6]
Selain pendidikan profesi, terdapat pula pendidikan akademik. Pendidikan
akademik lebih menekankan pada segi
teori dan kajian penelitian. Pendidikan profesi diadakan di atas S1 atau
D-4.
UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah
mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang
kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun
jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk
hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh
menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi.
C.
Strategi dan Pengembangan
Profesional Guru
Pemerintah
berusaha mewujudkan guru professional dengan melakukan empat tahap berikut ini:
(1)
Penyediaan guru
berbasis perguruan tinggi.
UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun
2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Guru
dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan
bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya
diakui oleh negara sebagai guru profesional.
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 membedakan antara pembinaan dan pengembangan
kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV.
Pengembangan dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi
kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau
program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan
tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan yang
terakreditasi. Sedangkan bagi yang sudah S1 atau D-IV dan sudah memiliki
sertifikat pendidik, pengembangan dan peningkata profesi dilakukan melalui
system pembinaan dan pengembangan keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan
dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.[7]
(2) Induksi guru pemula berbasis sekolah.
Para
guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan sudah sarjana satu atau
diploma empatyang sudah direkrut harus memasuki fase prakondisi yang disebut
dengan induksi. Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan
dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu
tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional.
(3) Profesionalisasi guru berbasis prakarsa
institusi,
Kegiatan yang dilakukan atas prakarsa
institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding,
dan lain-lain. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula
masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan
sebagainya
(4) Profesionalisasi guru berbasis individu
atau menjadi guru madani[8]
Seorang
guru dapat melakukan peningkatan kualitas dirinya dengan belajar secara
mandiri. Dalam hal ini, mereka melakukan proses belajar dengan cara
mengaktifkan diri pada kegiatan belajar dan berlatih. Dalam melakukan kegiatan
belajar mandiri ini, kegiatan belajar ini dapat dilakukan secara
sendiri-sendiri maupun dilakukan secara kelompok.
Dalam
belajar mandiri secara berkelompok dapat dilakukan misalnya dengan mengaktifkan
kinerja MGMP. MGMP atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran merupakan satu kelompok
guru dengan mata ajar yang sama dan mengadakan kegiatan efektif untuk
pengkondisian proses pendidikan dan pembelajaran. Dalam kegiatannya, para guru mencoba untuk
mensinkronkan langkah, persepsi, dan apresiasi terkait dengan cara musyawarah.[9]
Guru
sebagai pendidik profesional dengan tugas
utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik, baik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah haruslah
memiliki kompetensi dan profesionalitas yang stabil. Karena itu, terdapat upaya
yang sugguh-sungguh dari penerintah agar profesionalisme guru tersebut dapat
tetap terjaga. PP
No. 74 Tahun 2005 tentang Guru mengamanatkan bahwa terdapat dua alur pembinaan
dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan pengembangan profesi, dan
pembinaan dan pengembangan karir.[10]
Pembinaan
dan pengembangan keprofesian guru meliputi pembinaan kompetensi-kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan
karier meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Promosi yang dimaksud
berupa kenaikan pangkat dan atau kenaikan jenjang jabatan fungsional. Upaya
pembinaan dan pengembangan karir guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan
fungsional mereka.
Sesuai
dengan isi pasal 48 PP No. 74/2008, pengembangan dan peningkatan kompetensi
Guru dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian Guru
berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.
Kegiatan
untuk memperoleh angka kredit jabatan fungsional tersebut diperoleh Guru
sekurang-kurangnya melalui:
a. Kegiatan
kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru;
b. Pendidikan
dan pelatihan;
c. Pemagangan;
d. Publikasi
ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif;
e. Karya
inovatif;
f. Presentasi
pada forum ilmiah;
g. Publikasi
buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan;
h. Publikasi
buku pengayaan;
i.
Publikasi buku pedoman
Guru;
j.
Publikasi pengalaman
lapangan pada pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus; dan/atau
k. Penghargaan
atas prestasi atau dedikasi sebagai Guru yang diberikan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Kegiatan
pembinaan dan pengembangan profesi dapat dilakukan oleh institusi pemerintah,
lembaga pelatihan (training provider) nonpemerintah,penyelenggara, atau satuan
pendidikan. Di tingkat satuan pendidikan, program ini dapat dilakukan oleh guru
pembina, guru inti, koordinator guru kelas, dan sejenisnya yang ditunjuk dari
guru terbaik dan ditugasi oleh kepala sekolah. Analisis kebutuhan, perumusan
tujuan dan sasaran, desain program, implementasi dan layanan, serta evaluasi
program pelatihan dapat ditentukan secara mandiri oleh penyelenggara atau
memodifikasi/mengadopsi program sejenis.
Pembinaan
dan pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu penugasan, kenaikan
pangkat, dan promosi. Sebagai bagian dari pengembangan karir, kenaikan pangkat
merupakan hak guru. Dalam kerangka pembinaan dan pengembangan, kenaikan pangkat
ini termasuk ranah peningkatan karir. Kenaikan pangkat ini dilakukan melalui dua jalur.
Pertama, kenaikan pangkat dengan sistem pengumpulan angka kredit. Kedua,
kenaikan pangkat karena prestasi kerja atau dedikasi yang luar biasa.
Dengan adanya pembinaan dan
pengembangan karier dan profesionalitas, diharapkan para praktisi pendidikan
tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pendidik bangsa, untuk
mewujudkan masyarakat yang bermartabat dan berkualitas.
[1] Gene E Hall, Linda F Quinn, dan Donna M. Gollnick, Mengajar Dengan
Senang: Menciptakan Perbedaan dalam Pembelajaran Siswa (Jakarta: Indeks, 2008),
h. 10
[2] Ibid., h. 11
[3] Palker J Palmer, Keberanian Mengajar: Menjelajahi Ruang Nurani
Kehidupan Guru, (Jakarta; Indeks, 2009),
h. 31.
[4] Marcus Buckingham & Curt Coffman, Pertama, Langgar Semua Aturan, ( Jakarta: Azkia, 2009), hal. 99.
[5] Russel C. Swansburg, Pengembangan
Staf Keperawatan: Suatu Komponen Pengembangan Sumber Daya Manusia,
(Jakarta: EGC, 2001), hal. 43
[6] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), hal. 391.
[7] Ibid, hal. 9.
[8] Ibid, hal. 8.
[9] Mohammad Saroni, Personal
Branding Guru: Meningkatkan Kualitas dan Profesionalitas Guru, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hal 220.
[10] Ibid, hal. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar